loader
Event

Tanah Airku, Air Tanahku #EkskursiWakatobi

Tanah Airku, Air Tanahku #EkskursiWakatobi

Latar belakang

Acara ini merupakan program kerja turunan dari Ikatan Mahasiswa Arsitektur Universitas Indonesia yang telah diadakan dari tahun ke tahun. Adapun tujuan dari proker ekskursi ini adalah penerapan ilmu yang telah didapat oleh mahasiswa arsitektur dan arsitektur interior dalam konteks masyarakat dan lingkungan. Lantas, dalam beberapa kesempatan ekskursi mulai fokus melihat dan mempelajari arsitektur nusantara. Hal ini menjadi perhatian khusus, karena minimnya kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dari Indonesia sendiri dalam konteks arsitektural. Sumber literatur yang kami dapat dan pelajari selama perkuliahan pun banyak berasar dari luar. Padahal, sangat banyak unsur-unsur kearifan lokal yang muncul dari budaya Indonesia sendiri yang lebih cocok dan arif terhadap kondisi lingkungan nusantara. Saya mengambil contoh adanya buku dari hasil-hasil penelitian budaya suku Bajau yang tertulis atas nama peneliti Prancis. Ironinya, mahasiswa yang ingin mempelajari suku Bajau di Wakatobi khususnya, kami dari mahasiswa UI-lah yang pertama kali. Sangat miris melihat fakta bahwa mahasiswa luar lebih tertarik untuk mempelajari dan mungkin melestarikan budaya dan arsitektur lokal kita.

 

Pemilihan fokus lokasi dan tema

Indonesia adalah negara yang luas, yang terdiri dari berbagai suku dengan berbagai budayanya yang unik. Belajar dari program ekskursi-ekskursi sebelumnya yang lebih condong meliat arsitektur Indonesia pada konteks daratan, padahal jika kita menzoom-out untuk melihat secara makro, Indonesia didominasi oleh perairan/lautan. Dengan kondisi geografis Indonesia yang didominasi oleh perairan ini, masyarakatnya sudah lekat dengan kehidupan berbasis bahari. Berdasarkan paparan di atas maka timbullah pertanyaan di benak kami: “Bagaimana cara hidup, survive, membentuk dwelling, dan settlement dari orang-orang yang kesehariannya berada di laut?”

Dari keingintahuan tersebut kami mendapati suku Bajau yang masih memegang teguh budayanya. Adapun suku Bajau tersebar di beragam tempat di nusantara, termasuk di: Filipina, Sabah (Malaysia), Selayar, Kalimantan, Wakatobi, Madura, dan NTT. Kehidupan mereka tidak bisa lepas dari laut secara umum dan koral secara khususnya. Lantas, kami memilih Wakatobi karena wilayah tersebut memiliki populasi suku Bajau terbanyak dan tetap eksis melangsungkan kehidupan berbudayanya yang berbasis kehidupan di laut. Setelah mendapati fokus pada suku bajau yang bermukim di Wakatobi, muncul pertanyaan-pertanyaan besar. Bagaimana suku bajau Wakatobi memandang alam sekitarnya? Dan Apa peran laut bagi suku bajau Wakatobi? Terbentuknya arsitektur lokal di

sana pasti tidak terlepas dari peran alam , life-cycle, everyday activities, dan culture yang meruang.

Rangkaian kegiatan ekskursi ini berlangsung selama kurang lebih 10 hingga 11 bulan dengan berbagai tahapan yaitu riset awal dan pembekalan, melakukan perjalanan, serta menyiapkan output dan pameran. Pada riset awal, kami mempelajari suku Bajau dari berbagai sumber. Sebagai pembekalan, kami mengundang Ir. Abdul Manan, Msc selaku Presiden Kerukunan Keluarga Bajo Indonesia atau yang sering disebut sebagai Presiden Suku Bajau. Beliau aktif dalam membagikan informasi mengenai Wakatobi dan Suku Bajau baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu, kami juga mengadakan acara nonton bersama film “Mirror Never Lies” karya Kamila Andini peraih ‘Best Children’s Feature Film’ di ajang internasional ‘Asia Pacific Screen Award’ yang bercerita tentang seorang anak suku Bajau juga kami lakukan untuk mengetahui lebih dalam tentang kehidupan suku laut tersebut.

Kami melakukan rangkaian perjalanan ke Wakatobi dari tanggal 15 Juli hingga 3 Agustus 2013. Sebanyak 36 mahasiswa dan alumni arsitektur UI turut serta untuk melakukan pengamatan langsung tentang suku Bajau dan kehidupan lautnya. Ekskursi yang bertemakan ‘Tanah Airku, Air Tanahku’ ini bertujuan melihat suku Bajau yang merasakan air sebagai tanah tempat mereka berpijak dan berladang, kaitan yang sangat erat antara suku Bajau dan laut, serta melihatnya dari sudut pandang kami, sebagai orang darat. Kami mengambil fokus ke desa Sama Bahari, yang terletak di antara pulau Kaledupa dan pulau Hoga. Desa Sama Bahari ini terletak di tengah laut dan hanya dapat dijangkau kapal kecil dan kapal motor, berjarak sekitar 5-15 menit dari daratan Kaledupa. Menarik, ketika mereka ternyata tidak begitu jauh dari daratan, namun ingin tetap terpisah di atas lautan dan memiliki rumah tancap dan rumah karang yang berada di atas laut. Kehidupan mereka terhubung oleh laut serta jalan titian kecil agar orang darat yang tak memiliki perahu tetap dapat berkeliling desa. Adanya lapangan bola kecil di atas laut, kegiatan ‘nubba’ atau mengambil kerang dan teripang ketika lautan surut, serta ikut berenang dan mendayung ‘leppa’ bersama anak-anak suku Bajau merupakan suatu pengalaman menarik yang nantinya akan kami tuangkan dalam buku, video dan output pameran.

Kami harap, melalui rangkaian kegiatan ekskursi Wakatobi 2013, ‘Tanah Airku, Air Tanahku’ masyarakat dapat lebih mengenal lebih dalam mengenai sudut-sudut menarik dari arsitektur nusantara, lebih khususnya suku Bajau, suku yang bermukim di atas laut dan bagaimana kearifan lokal mereka mewarnai keanekaragaman budaya Indonesia yang sangat kaya.